Silahkan Klik link ini --> Kisah Jujur dan Menepati Janji
Pada zaman dahulu, sebelum era keislaman, hidup
seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat
jujur dan tak pernah ingkar janji. Suatu hari si pemuda sangat membutuhkan uang
untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah uang kepada seseorang yang ia
kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut.
“Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan,”
ujar si peminjam uang.
“Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.
“Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin,”
pinta si peminjam lagi.
Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi
saksi apalagi penjamin. Ia hanya bisa berucap, “Cukuplah Allah sebagai
penjamin,” kata si pemuda. Akan tetapi, baginya menyebut asma Allah dalam
ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut
Allah murka.
Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau
benar,” katanya. Ia pun kemudian memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda.
Keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.
Pergilah si pemuda mengarungi samudera untuk memenuhi
kebutuhannya dengan uang pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian,
ia pun bermaksud kembali ke pulau si peminjam tinggal. Namun apa daya, tak ada
layanan perahu menuju tempat si peminjam.
Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia. Namun,
entah mengapa hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah
mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda itu. Ia tak mau melanggar kesepakatan
dan janji utangnya.
Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah
berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia
pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya. Ia pun mengambil sepotong
kayu, kemudian melubanginya.
Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang
kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan
pada lubang kayu tersebut.
Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya
berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu
dinar. Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan
padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’. Ia pun rida dengan-Mu. Ia juga meminta
saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun rida
kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk
mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu
mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu,” ujar si
pemuda bertawakal.
Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus
laut. Namun, meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si
pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri
seberang, tempat si peminjam tinggal.
Sementara itu, di negeri seberang, si piutang terus
menengok dermaga menunggu perahu si pemuda. Namun, lama nian tak ada satu
perahu pun yang mengantarkan uangnya kembali. Ia pun menunggu di tepi laut
berharap si pemuda menepati janjinya.
Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun, tiba-tiba ia
melihat sebongkah kayu yang hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar di
rumahnya, ia pun memungutnya dan membawanya pulang. Terkejut, saat membelah
kayu tersebut, ia mendapati uang seribu dinar dan sepucuk surat. Membaca surat
tersebut, ia pun tersenyum riang.
Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh
cemas dan rasa bersalah. Turun dari perahu, ia bergegas menuju rumah si
peminjam utang. “Demi Allah, aku terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu
dan mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak memperoleh perahu hingga perahu
sekarang ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.
Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan
pemuda menepati janjinya. Ia pun berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu
kepadaku?” tanyanya. Namun, si pemuda tak sedikit pun menyangka bahwa kayu
kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi jasa kurir. “Aku katakan
kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang kubawa sekarang ini,”
ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan kepada si
peminjam utang. Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati
pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa
utangnya si pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat
waktu peminjaman. “Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di
dalam kayu. Maka, pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,”
ujar si pemberi utang.
Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan
oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Nasa’i. Tak dikabarkan jelas
siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi tempat tinggal si pemuda dan si
piutang. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya, mengingat kedudukan hadis
yang menyebutkan kisah itu memiliki derajat shahih.
Dari kisah tersebut, terdapat hikmah agung yang dapat
menjadi pelajaran bagi Muslimin. Membulatkan tekad sangat dibutuhkan Muslimin
sebelum bertawakal kepada Allah. Hal tersebut tercantum dalam Alquran surah Ali
Imran ayat 159, Allah berfirman, “...Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya.”
Dalam kisah, si pemuda menunjukkan sikap memenuhi janji
dengan ketekadan yang luar biasa. Hingga kemudian, ia menyerahkan urusannya
kepada Allah dengan mengirimkan sepotong kayu. Ia bertawakal kepada Allah agar
suratnya sampai ke tujuan setelah memiliki tekad bulat dalam hatinya untuk
memenuhi janji mengganti hutangnya.
PERTOLONGAN
ALLAH UNTUK ORANG YANG JUJUR
Kisah
Muslim – Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu meriwayatkan dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil meminta kepada seseorang Bani
Israil lainnya agar memberikan pinjaman kepadanya seribu dinar. Lalu si pemberi
pinjaman berkata, “Datangkanlah para saksi. Saya meminta mereka untuk
bersaksi.”
Lantas
orang yang meminta pinjaman berkata, “Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’alayang menjadi saksi.”
Pemberi
pinjaman menambahkan, “Datangkanlah seorang penjamin,.”
Dia
menjawab, “Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
penjamin.”
Pemberi
pinjaman berkata, “Engkau benar.”
Selanjutnya
si peminjam pergi mengarungi lautan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah itu,
dia mencari kendaraan yang akan digunakan untuk mendatangi pemberi pinjaman
sesuai waktu yang telah ditetapkan. Ternyata dia tidak menemukan kendaraan.
Lantas dia mengambil kayu dan melubanginya, lalu dia memasukkan seribu dinar di
dalamnya dan selembar kertas darinya untuk temannya (si pemberi pinjaman).
Kemudian dia meratakan tempatnya kembali.
Selanjutnya
dia membawa kayu tersebut ke laut. Dia berkata, “Ya Allah! Sungguh, Engkau
mengetahui bahwa saya meminjam seribu dinar kepada si fulan, lalu dia meminta
penjamin kepadaku dan saya berkata, ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’alasebagai penjamin.’ Dia pun ridha
karena Engkau. Dia juga meminta saksi, lalu saya berkata, ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi saksi.’ Dia pun ridha
karena Engkau. Sesungguhnya saya telah bersusah payah untuk menemukan kendaraan
untuk mengantarkan utangku kepada pemiliknya, ternyata saya tidak menemukan.
Sungguh, saya menitipkan kayu ini kepada-Mu.”
Lantas
dia melemparkannya ke laut sampai masuk ke dalam laut kemudian bergerak. Di
samping itu dia masih saja mencari kendaraan untuk menuju ke daerahnya.
Di
lain pihak, si pemberi pinjaman menanti-nanti barangkali kendaraan yang membawa
piutangnya telah datang. Ternyata ada kayu yang mengapung di dekatnya. Lalu dia
mengambil kayu tersebut untuk dijadikan sebagai kayu bakar buat keluarganya.
Ketika dia menggergajinya, dia menemukan uang dan selembar kertas. Kemudian si
peminjam hutang datang dan memberikan seribu dinar, lalu dia berkata, “Demi
Allah, saya telah bersusah payah mencari kendaraan untuk menyerahkan piutangmu.
Ternyata saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang sekarang ini.”
Setelah
beberapa waktu kemudian, teman yang meminjam uang darinya telah sampai. Dia
bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”
Dia
menjawab, “Saya kan sudah bilang bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum
saya datang sekarang ini.”
Dia
berkata, “Allah telah mengantarkan darimu sesuatu yang engkau kirimkan melalui
kayu dan mengalir dengan membawa seribu dinar.”
(HR.
Al-Bukhari).
Kisah si penggembala kambing yang jujur
Di zaman sekarang
sulit rasanya menemukan orang yang memiliki sifat jujur. Meski pun ada, hanya
satu banding seribu orang yang bersifat jujur.
Di masa Rasulullah sendiri, hanya segelintir orang yang bersifat jujur. Padahal
dengan jujur membuka pintu rizki yang melimpah.
Seperti kisah Abdullah bin Masud seorang yang punya sifat jujur. Abdullah bin
Masud merupakan seorang penggembala kambing. Dia menggembala kambing milik
seorang petinggi Quraisy Uqbah bin Abi Muaith. Dari pagi hingga sore dia
menggembala.
Pada suatu hari saat menjaga ternaknya, ada dua orang laki-laki paruh baya
menghampirinya. Kedua laki-laki itu nampak haus dan kelelahan. Mereka kemudian
memberi salam kepada Abdullah bin Masud dan memintanya untuk memerahkan susu kambing tersebut.
Akan tetapi, Abdullah bin Masud menolak memberikan susu itu karena bukan
miliknya. "Kambing-kambing ini bukan milik saya. Saya hanya
memeliharanya," katanya jujur.
Mendengar jawaban itu, dua laki-laki tersebut tak memberikan bantahan. Walau
pun sangat kehausan, mereka sangat senang dengan jawaban jujur si penggembala.
Kegembiraan ini sangat jelas di wajag mereka.
Ternyata kedua orang itu adalah Rasulullah SAW dan sahabatnya Abu Bakar Ash
Shiddiq. Hari itu, keduanya pergi ke pegunungan Makkah untuk menghindari
perlakuan kejam kaum Quraisy.
"Apakah kau mempunyai kambing betina yang belum dikawinkan?," tanya
Rasulullah. "Ada," jawab Abdullah.
Lalu Abdullah mengajak Rasulullah dan sahabatnya melihat seekor kambing betina
yang masih muda. Kemudian, kaki kambing itu diikat. Rasulullah
menyuapkan tangannya ke tubuh kambing tersebut sambil berdoa kepada Allah.
Saat itulah turun rizki dari Allah. Tiba-tiba saja susu kambing itu mengalir
sangat banyak. Abu Bakar segera mengambil sebuah batu cekung yang digunakan
untuk menampung air susu hasil perahan.
Ketiganya pun meminumnya bersama-sama. Setalah itu, Rasulullah berkata
"kempislah". Seketika susu kambing menjadi kempis dan tidak
mengeluarkan susu lagi.
Abullah pun takjub dan terkejut menyaksikan hal tersebut. Sebab kambing
tersebut sebelumnya belum pernah mengeluarkan air susu. Tapi di depan matanya
saat itu kambing malah mengeluarkan air susu yang banyak dan dinikmati bersama.
Itu adalah karunia Allah. Muncul kekaguman Abullah kepada tamunya. Tak lama
usai peristiwa itu, Abdullah memeluk agama Islam dan kelak menjadi salah satu
penghafal Alquran terbaik.
Kisah Dua Bani Israil
Yang Sama-Sama Jujur dan Amanah
Dunia Nabi ~ Di sebutkan dalam sebuah hadits dari Abu
Hurairah, ada seorang Bani Israel yang mengunjungi sahabatnya untuk meminjam
uang sebesar seribu dinar. Teman yang menghutangnya pun meminta syarat.
“Hadirkan beberapa saksi agar mereka menyaksikan (hutangmu ini).” Cukuplah
Allah sebagai saksi bagiku!” kata si peminjam.
kisah-dua-bani-israil
“Kalau begitu, coba datangkan seseorang yang bakal
menjaminmu!” sahut temannya memberikan syarat lain. “Cukuplah Allah yang
menjaminku!” jawabnya. Begitu yang dipinjami mengulangi persyaratannya lagi,
tetapi yang meminjam pun kembali menyampaikan jawaban serupa.
“Baiklah. Akan kuberikan seribu dinar untuk engkau
pinjam. Ya sudah, biarlah Allah saja yang menjaminnya” ucap si pemberi
pinjaman. Ia merasa sahabatnya yang membutuhkan uang itu memang jujur, dapat
dipercaya dan bertanggung jawab untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan
tempo yang disepakati.
Lantas uang itu diserahkan kepada sahabatnya. Setelah
mendapatkan uang pinjaman, si penghutang pun pergi menyeberangi lautan untuk
kembali manjalankan bisnisnya di
tempatnya.
Singkat cerita, tak terasa pinjaman itu sudah jatuh
tempo dan harus segera dikembalikan. Sadar harus mengembalikan pinjamannya,
hari itu ia mencari kapal yang bisa mengantarkan dirinya ke sahabatnya yang
memberikan pinjaman padanya. Lelaki itu memang sudah niat untuk mengembalikan uang
yang dipinjam. Di tentenglah uang seribu dinar ke tepi pantai, sekian lama bolak-balik, mondar-mandir
tak jua mendapati kapal.
Tampak lelaki itu mulai gelisah karena kapal yang
dinantikannya tak kunjung tiba. Dia sedih karena bila tak bisa mengembalikan
uang di hari itu, sama artinya ia
mengingkari janji yang telah disepakati. Padahal dirinyalah yang meminta
agar Allah swt yang menjadi saksi dan
menjadi penjaminnya.
Hatinya gundah-gulana. Hingga beberapa saat kemudian
dilihatnya ada sebatang kayu yang sementara mengapung. Tiba-tiba ia mendapat
sebuah ide. Dalam benaknya, uang sebanyak itu bisa disiasati untuk dimasukkan
ke dalam lubang kayu, kemudian dihanyutkan ke laut. Konyol memang, tetapi tidak mengapa
ini dilakukan sebagai wujud kesungguhannya dalam menepati janji.
Segera dipungut
kayu itu. Ia lubangi sampai kira-kira
uang seribu dinarnya bisa masuk semua
di dalamnya. Tak lupoa ia menyertakan sepucuk surat yang isinya menjelaskan keadaan dirinya yang
sebenarnya sehingga tidak bisa datang langsung untuk mengembalikan uang
pinjaman. Setelah itu, lubang kayu tersebut ditutup hingga rata. Barulah kemudian dihanyutkannya ke
laut.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
berhutang seribu dinar kepadanya. Dia meminta penjamin kepadaku, lalu aku menjawab. Cukuplah Allah sebagai penjamin. Dan dia rela dengan-Mu,
lalu dia memintaku seorang saksi dan aku
berkata ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. Dia pun rela kepada-Mu. Sesungguhnya
aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirim haknya, tetapi aku tidak
mendapatkan, dan aku menitipkannya kepada-Mu” demikian ia berdoa.
Setelah itu ia pulang ke rumahnya sembari memasrahkan
semuanya pada Allah swt. Ia yakin bahwa Allah akan membereskan urusannya. Benar
saja, permohonan lelaki tersebut terjawab.
Allah swt menjaga kayu yang berisi uang tersebut di tengah lautan dan
mengarahkan ombak di lautan agar menghempaskan kayu itu ke pulau dimana sahabat
lelaki tersebut berada.
Nun jauh diseberang lautan, sang pemberi pinjaman
tengah menunggu temannya itu. Cukup lama ia menanti, tapi tanda-tanda
kedatangannya tak nampak. Saat hendak pulang, pandangannya tiba-tiba tertuju
pada kayu yang mengambang, mendekati daratan. Lalu dihampirilah kayu itu untuk dibawa pulang
sebagai kayu bakar. Sesampai di rumah, kayu itu dibelah dan ternyata di
dalamnya terdapat uang seribu dinar dan
sepucuk surat dari sahabatnya.
Beberapa waktu kemudian, setelah ada kapal yang
mengantarnya ke pulau seberang, dia datang menemui sahabatnya yang meminjaminya
uang dengan perasaan bersalah. Di tangannya sudah ada seribu dinar lagi, karena
khawatir uang yang dikirim lewat sebatang kayu tidak sampai ke tangan
sahabatnya.
“Demi Allah, sebelum kedatanganku kali ini, aku telah
berusaha mencari kapal, namun sungguh sayang aku tidak mendapatkannya. Maafkan,
aku, Kawan” katanya meminta maaf.
Sejurus kemudian, ia berikan uang seribu dinar
yang baru dibawanya dari rumah kepada
sahabatnya itu. “Apakah engkau mengirimkan sesuatu?” tanya sahabat yang memberi
pinjaman.
Bukankah telah kukatakan bahwa aku tidak mendapatkan
kapal yang bisa mengantarkanku ke tempat ini?” jawab sang peminjam.
Kemudian sahabatnya itu mengabarkan. “Sesungguhnya
Allah telah mengantarkan uang pinjamanmu yang kau taruh di dalam lubang sebatang kayu. Karena itu bawalah uang seribu
dinar kembali dengan beruntung!”
Rasulullah
Yang Jujur Dalam Menepati Janji
Kalimat yang terucap dari Rasulullah Saw adalah jaminan yang tidak
ada jaminan setelahnya. Itulah sifat shidiq (jujur dan benar) yang dimiliki
para nabi, tidak pernah berubah sama sekali.
Suhail bin Amru datang sebagai delegasi Qurays menemui Rasulullah
Saw dan para sahabatnya di Hudaibiyah pada Dzulqa’dah tahun keenam hijriyah.
Kedatangan Suhail inilah yang menyebabkan Rasul Saw dan para sahabatnya batal
memasuki kota Makkah ketika itu.
Dalam salah satu butir Perjanjian Hudaibiyah disebutkan, Muhammad
harus mengembalikan kepada Qurays orang yang pergi ke tempat kaum Muslimin
tanpa seizin walinya dan mereka tidak dituntut mengembalikan pengikut beliau
yang pergi ke Qurays.
Syarat ini mengagetkan para Sahabat Nabi Saw, termasuk Umar bin
Khaththab ra. Sehingga ia pergi menemui Abu Bakar dan Rasulullah Saw seraya
mengingatkan, ‘Bukankah kita Muslimin! Bukankah mereka musyrikin! Bukankah
engkau Rasulullah! Untuk apa kita berikan kerendahan pada agama kita?’ Maka
Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, tidak akan
menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakan Aku.’ Abu Bakar
berkata, ‘Aku bersaksi sesungguhnya dia utusan Allah.’
Penerimaan kaum Musimin pada syarat ini adalah menyerahnya mereka
pada perkara yang belum diketahui rahasianya. Dan hal itu menjadi ujian terbesar
bagi kesabaran mereka.
Belum lagi ketika mereka dalam keadaan bersitegang dan Rasulullah
Saw selesai bernegoisasi dengan delegasi Qurays, yakni Suhail bin Amru, tetapi
perjanjian belum ditulis dan belum selesai, tiba-tiba datanglah kepada mereka Abu
Jandal. Ia datang sembari berteriak, berjalan tertatih-tatih dengan kaki
terbelenggu.
Abu Jandal adalah putra Suhail bin Amru. Begitu melihat anaknya,
Suhail beranjak ke arahnya dan mengambil rantai belenggunya seraya berkata,
“Wahai Muhammad, persoalan antara aku dan engkau telah mengerucut, artinya
negoisasi telah selesai sebelum datangnya anak ini,!” Nabi menjawab, “Engkau
benar.” Maka Abu Jandal pun berteriak memanggil-manggil kaum Muslimin, ‘Apakah
aku akan dikembalikan kepada Musyrikin yang merusak agamaku?’
Kita bisa bayangkan sikap itu, keberanian Nabi Muhammad Saw yang
tiada bandingannya. Beliau orang kuat yang saat itu keluar dari Madinah dengan
1400 orang sahabatnya. Lalu sekarang beliau melihat sahabatnya datang dalam
kondisi tersiksa, terbelenggu dan tertatih-tatih padahal di kalangan Qurays ia
termasuk orang terpandang. Abu Jandal dibelenggu karena ikut Muhammad Saw dan
ikut agamanya.
Namun demikian, Rasulullah Saw tidak goyah dan tidak ragu
sedikitpun dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Beliau menegaskan
kepada Suhail, ”Kau benar, persoalan telah selesai.’ Dan beliau pun kemudian
mengembalikan sahabatnya itu dalam keadaan menangis kepada musuhnya. Inilah
keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad Saw dalam menjaga dan menepati perkataan
yang telah ia katakan meskipun belum ditulis dan belum selesai.
Pada peristiwa yang sama dalam butir perjanjian lainnya juga
disebutkan, siapa saja bisa masuk dalam akad dan janji (bersekutu) dengan
Muhammad dan siapa saja bisa masuk dalam akad dan janji dengan Qurays. Kemudian
masuklah Bani Khuza’ah dan sekutunya pada akan dan janji Muhammad Saw serta
menjadi sekutu beliau, sementara Bani Bakar bersekutu dengan Qurays.
Ketika pada akhirnya Qurays membantu sekutunya, Bani Bakar,
menyerang Khuza’ah, maka datanglah Amru bin Salim al-Khuza’i menagih janji
Rasulullah Saw dan meminta beliau menolong kaumnya. Amru bersumpah di hadapan
Rasulullah Saw yang saat itu berada di Masjid, ia meratap dan mengatakan,
‘Wahai Tuhan, aku
meratap pada Muhammad
Sekutu ayah kami dan
ayahnya yang sangat erat.
Tolonglah (Muhammad),
Allah menunjukkanmu
kemenangan pasti.
Ajaklah hamba-hamba
Allah, mereka pasti datang memberi bantuan.
Dalam gelombang pasukan
seperti samudera,
Yang berjalan
berbuih-buih.
Sesungguhnya Qurays mengingkari
kanji padamu
Dan merusak perjanjianmu
yang telah dikuatkan.
Permintaan itu pun dipenuhi, Rasulullah pun menyiapkan 10 ribu
pasukannya. Maka, serangan Qurays terhadap Bani Khuza’ah inilah yang pada
akhirnya menjadi jalan bagi umat Islam untuk menaklukkan Kota Makkah. Inilah
contoh dari kejujuran dan kesetiaan Rasulullah dalam menepati janji dan
perjanjian. Tidak pernah terjadi sekalipun ketika Rasulullah Saw berjanji atau
membuat perjanjian lalu beliau ingkar atau berkhianat.
Imam Bukhari meriwayatkan, ketika Heraklius bertanya kepada Abu
Sofyan tentang Rasulullah Saw, “Apakah ia berkhianat?” Abu Sufyan menjawab,
“Tidak.” Setelah itu Heraklius mengatakan, “Aku tanyakan kepadamu apakah ia
berkhianat, maka kalian anggap bahwa ia tidak berkhianat, memang seperti itulah
seorang rasul, ia tidak berkhianat.”
________________
jujur, kejujuran rasulullah, menepati janji, rasulullah menepati janji, janji
rasulullah,
No comments:
Post a Comment