Be Smart On the Internet

Thursday, March 12, 2020

5+ Kisah Jujur dan Menepati Janji

ngin mendapatkan file Ms. Word nya ?
Silahkan Klik link ini --> Kisah Jujur dan Menepati Janji


Kisah Pemuda dan Sepotong Kayu
Pada zaman dahulu, sebelum era keislaman, hidup seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji. Suatu hari si pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah uang kepada seseorang yang ia kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut.
“Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan,” ujar si peminjam uang.
“Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.
“Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin,” pinta si peminjam lagi.
Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin. Ia hanya bisa berucap, “Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda. Akan tetapi, baginya menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka.
Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau benar,” katanya. Ia pun kemudian memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda. Keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.
Pergilah si pemuda mengarungi samudera untuk memenuhi kebutuhannya dengan uang pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke pulau si peminjam tinggal. Namun apa daya, tak ada layanan perahu menuju tempat si peminjam.
Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia. Namun, entah mengapa hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda itu. Ia tak mau melanggar kesepakatan dan janji utangnya.
Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya. Ia pun mengambil sepotong kayu, kemudian melubanginya.
Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan pada lubang kayu tersebut.
Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar. Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’. Ia pun rida dengan-Mu. Ia juga meminta saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun rida kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu,” ujar si pemuda bertawakal.
Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun, meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, tempat si peminjam tinggal.
Sementara itu, di negeri seberang, si piutang terus menengok dermaga menunggu perahu si pemuda. Namun, lama nian tak ada satu perahu pun yang mengantarkan uangnya kembali. Ia pun menunggu di tepi laut berharap si pemuda menepati janjinya.
Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun, tiba-tiba ia melihat sebongkah kayu yang hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar di rumahnya, ia pun memungutnya dan membawanya pulang. Terkejut, saat membelah kayu tersebut, ia mendapati uang seribu dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun tersenyum riang.
Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh cemas dan rasa bersalah. Turun dari perahu, ia bergegas menuju rumah si peminjam utang. “Demi Allah, aku terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak memperoleh perahu hingga perahu sekarang ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.
Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?” tanyanya. Namun, si pemuda tak sedikit pun menyangka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi jasa kurir. “Aku katakan kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang kubawa sekarang ini,” ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan kepada si peminjam utang. Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa utangnya si pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat waktu peminjaman. “Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam kayu. Maka, pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,” ujar si  pemberi utang.
Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Nasa’i. Tak dikabarkan jelas siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi tempat tinggal si pemuda dan si piutang. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya, mengingat kedudukan hadis yang menyebutkan kisah itu memiliki derajat shahih.
Dari kisah tersebut, terdapat hikmah agung yang dapat menjadi pelajaran bagi Muslimin. Membulatkan tekad sangat dibutuhkan Muslimin sebelum bertawakal kepada Allah. Hal tersebut tercantum dalam Alquran surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman, “...Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dalam kisah, si pemuda menunjukkan sikap memenuhi janji dengan ketekadan yang luar biasa. Hingga kemudian, ia menyerahkan urusannya kepada Allah dengan mengirimkan sepotong kayu. Ia bertawakal kepada Allah agar suratnya sampai ke tujuan setelah memiliki tekad bulat dalam hatinya untuk memenuhi janji mengganti hutangnya.




PERTOLONGAN ALLAH UNTUK ORANG YANG JUJUR
Kisah Muslim – Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil meminta kepada seseorang Bani Israil lainnya agar memberikan pinjaman kepadanya seribu dinar. Lalu si pemberi pinjaman berkata, “Datangkanlah para saksi. Saya meminta mereka untuk bersaksi.”
Lantas orang yang meminta pinjaman berkata, “Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’alayang menjadi saksi.”
Pemberi pinjaman menambahkan, “Datangkanlah seorang penjamin,.”
Dia menjawab, “Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penjamin.”
Pemberi pinjaman berkata, “Engkau benar.”
Kemudian dia menyerahkan piutang tersebut kepadanya sampai waktu yang ditentukan.
Selanjutnya si peminjam pergi mengarungi lautan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah itu, dia mencari kendaraan yang akan digunakan untuk mendatangi pemberi pinjaman sesuai waktu yang telah ditetapkan. Ternyata dia tidak menemukan kendaraan. Lantas dia mengambil kayu dan melubanginya, lalu dia memasukkan seribu dinar di dalamnya dan selembar kertas darinya untuk temannya (si pemberi pinjaman). Kemudian dia meratakan tempatnya kembali.
Selanjutnya dia membawa kayu tersebut ke laut. Dia berkata, “Ya Allah! Sungguh, Engkau mengetahui bahwa saya meminjam seribu dinar kepada si fulan, lalu dia meminta penjamin kepadaku dan saya berkata, ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’alasebagai penjamin.’ Dia pun ridha karena Engkau. Dia juga meminta saksi, lalu saya berkata, ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi saksi.’ Dia pun ridha karena Engkau. Sesungguhnya saya telah bersusah payah untuk menemukan kendaraan untuk mengantarkan utangku kepada pemiliknya, ternyata saya tidak menemukan. Sungguh, saya menitipkan kayu ini kepada-Mu.”
Lantas dia melemparkannya ke laut sampai masuk ke dalam laut kemudian bergerak. Di samping itu dia masih saja mencari kendaraan untuk menuju ke daerahnya.
Di lain pihak, si pemberi pinjaman menanti-nanti barangkali kendaraan yang membawa piutangnya telah datang. Ternyata ada kayu yang mengapung di dekatnya. Lalu dia mengambil kayu tersebut untuk dijadikan sebagai kayu bakar buat keluarganya. Ketika dia menggergajinya, dia menemukan uang dan selembar kertas. Kemudian si peminjam hutang datang dan memberikan seribu dinar, lalu dia berkata, “Demi Allah, saya telah bersusah payah mencari kendaraan untuk menyerahkan piutangmu. Ternyata saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang sekarang ini.”
Setelah beberapa waktu kemudian, teman yang meminjam uang darinya telah sampai. Dia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”
Dia menjawab, “Saya kan sudah bilang bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang sekarang ini.”
Dia berkata, “Allah telah mengantarkan darimu sesuatu yang engkau kirimkan melalui kayu dan mengalir dengan membawa seribu dinar.”
(HR. Al-Bukhari).




Kisah si penggembala kambing yang jujur

Di zaman sekarang sulit rasanya menemukan orang yang memiliki sifat jujur. Meski pun ada, hanya satu banding seribu orang yang bersifat jujur.
Di masa Rasulullah sendiri, hanya segelintir orang yang bersifat jujur. Padahal dengan jujur membuka pintu rizki yang melimpah.
Seperti kisah Abdullah bin Masud seorang yang punya sifat jujur. Abdullah bin Masud merupakan seorang penggembala kambing. Dia menggembala kambing milik seorang petinggi Quraisy Uqbah bin Abi Muaith. Dari pagi hingga sore dia menggembala.
Pada suatu hari saat menjaga ternaknya, ada dua orang laki-laki paruh baya menghampirinya. Kedua laki-laki itu nampak haus dan kelelahan. Mereka kemudian memberi salam kepada Abdullah bin Masud dan memintanya untuk memerahkan susu kambing tersebut.
Akan tetapi, Abdullah bin Masud menolak memberikan susu itu karena bukan miliknya. "Kambing-kambing ini bukan milik saya. Saya hanya memeliharanya," katanya jujur.
Mendengar jawaban itu, dua laki-laki tersebut tak memberikan bantahan. Walau pun sangat kehausan, mereka sangat senang dengan jawaban jujur si penggembala. Kegembiraan ini sangat jelas di wajag mereka.
Ternyata kedua orang itu adalah Rasulullah SAW dan sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq. Hari itu, keduanya pergi ke pegunungan Makkah untuk menghindari perlakuan kejam kaum Quraisy.
"Apakah kau mempunyai kambing betina yang belum dikawinkan?," tanya Rasulullah. "Ada," jawab Abdullah. 
Lalu Abdullah mengajak Rasulullah dan sahabatnya melihat seekor kambing betina yang masih muda. Kemudian, kaki kambing itu diikat. Rasulullah menyuapkan tangannya ke tubuh kambing tersebut sambil berdoa kepada Allah. 
Saat itulah turun rizki dari Allah. Tiba-tiba saja susu kambing itu mengalir sangat banyak. Abu Bakar segera mengambil sebuah batu cekung yang digunakan untuk menampung air susu hasil perahan.
Ketiganya pun meminumnya bersama-sama. Setalah itu, Rasulullah berkata "kempislah". Seketika susu kambing menjadi kempis dan tidak mengeluarkan susu lagi.
Abullah pun takjub dan terkejut menyaksikan hal tersebut. Sebab kambing tersebut sebelumnya belum pernah mengeluarkan air susu. Tapi di depan matanya saat itu kambing malah mengeluarkan air susu yang banyak dan dinikmati bersama.
Itu adalah karunia Allah. Muncul kekaguman Abullah kepada tamunya. Tak lama usai peristiwa itu, Abdullah memeluk agama Islam dan kelak menjadi salah satu penghafal Alquran terbaik. 





Kisah Dua Bani Israil Yang Sama-Sama Jujur dan Amanah
Dunia Nabi ~ Di sebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ada seorang Bani Israel yang mengunjungi sahabatnya untuk meminjam uang sebesar seribu dinar. Teman yang menghutangnya pun meminta syarat. “Hadirkan beberapa saksi agar mereka menyaksikan (hutangmu ini).” Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!” kata si peminjam.
kisah-dua-bani-israil
“Kalau begitu, coba datangkan seseorang yang bakal menjaminmu!” sahut temannya memberikan syarat lain. “Cukuplah Allah yang menjaminku!” jawabnya. Begitu yang dipinjami mengulangi persyaratannya lagi, tetapi yang meminjam pun kembali menyampaikan jawaban serupa.
“Baiklah. Akan kuberikan seribu dinar untuk engkau pinjam. Ya sudah, biarlah Allah saja yang menjaminnya” ucap si pemberi pinjaman. Ia merasa sahabatnya yang membutuhkan uang itu memang jujur, dapat dipercaya dan bertanggung jawab untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan tempo yang disepakati.
Lantas uang itu diserahkan kepada sahabatnya. Setelah mendapatkan uang pinjaman, si penghutang pun pergi menyeberangi lautan untuk kembali  manjalankan bisnisnya di tempatnya.
Singkat cerita, tak terasa pinjaman itu sudah jatuh tempo dan harus segera dikembalikan. Sadar harus mengembalikan pinjamannya, hari itu ia mencari kapal yang bisa mengantarkan dirinya ke sahabatnya yang memberikan pinjaman padanya. Lelaki itu memang sudah niat untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Di tentenglah uang seribu dinar ke tepi  pantai, sekian lama bolak-balik, mondar-mandir tak jua mendapati kapal.
Tampak lelaki itu mulai gelisah karena kapal yang dinantikannya tak kunjung tiba. Dia sedih karena bila tak bisa mengembalikan uang di hari itu, sama artinya ia  mengingkari janji yang telah disepakati. Padahal dirinyalah yang meminta agar Allah  swt yang menjadi saksi dan menjadi penjaminnya.
Hatinya gundah-gulana. Hingga beberapa saat kemudian dilihatnya ada sebatang kayu yang sementara mengapung. Tiba-tiba ia mendapat sebuah ide. Dalam benaknya, uang sebanyak itu bisa disiasati untuk dimasukkan ke dalam lubang kayu, kemudian dihanyutkan ke laut. Konyol memang, tetapi  tidak mengapa  ini dilakukan sebagai wujud kesungguhannya  dalam menepati janji.
Segera  dipungut kayu itu. Ia lubangi  sampai kira-kira uang seribu  dinarnya bisa  masuk semua  di dalamnya. Tak lupoa ia menyertakan sepucuk surat  yang isinya menjelaskan keadaan dirinya yang sebenarnya sehingga tidak bisa datang langsung untuk mengembalikan uang pinjaman. Setelah itu, lubang kayu tersebut ditutup hingga  rata. Barulah kemudian dihanyutkannya ke laut.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku berhutang seribu dinar kepadanya. Dia meminta penjamin kepadaku, lalu aku  menjawab. Cukuplah Allah  sebagai penjamin. Dan dia rela dengan-Mu, lalu dia memintaku seorang  saksi dan aku berkata ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. Dia pun rela kepada-Mu. Sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirim haknya, tetapi aku tidak mendapatkan, dan aku menitipkannya kepada-Mu” demikian ia berdoa.
Setelah itu ia pulang ke rumahnya sembari memasrahkan semuanya pada Allah swt. Ia yakin bahwa Allah akan membereskan urusannya. Benar saja, permohonan  lelaki tersebut terjawab. Allah swt menjaga kayu yang berisi uang tersebut di tengah lautan dan mengarahkan ombak di lautan agar menghempaskan kayu itu ke pulau dimana sahabat lelaki tersebut berada.
Nun jauh diseberang lautan, sang pemberi pinjaman tengah menunggu temannya itu. Cukup lama ia menanti, tapi tanda-tanda kedatangannya tak nampak. Saat hendak pulang, pandangannya tiba-tiba tertuju pada kayu yang mengambang, mendekati daratan. Lalu  dihampirilah kayu itu untuk dibawa pulang sebagai  kayu bakar. Sesampai  di rumah, kayu itu dibelah dan ternyata di dalamnya terdapat  uang seribu dinar dan sepucuk surat dari sahabatnya.
Beberapa waktu kemudian, setelah ada kapal yang mengantarnya ke pulau seberang, dia datang menemui sahabatnya yang meminjaminya uang dengan perasaan bersalah. Di tangannya sudah ada seribu dinar lagi, karena khawatir  uang yang dikirim lewat  sebatang kayu tidak sampai ke tangan sahabatnya.
“Demi Allah, sebelum kedatanganku kali ini, aku telah berusaha mencari kapal, namun sungguh sayang aku tidak mendapatkannya. Maafkan, aku, Kawan” katanya meminta maaf.
Sejurus kemudian, ia berikan uang seribu dinar yang  baru dibawanya dari rumah kepada sahabatnya itu. “Apakah engkau mengirimkan sesuatu?” tanya sahabat yang memberi pinjaman.
Bukankah telah kukatakan bahwa aku tidak mendapatkan kapal yang bisa mengantarkanku ke tempat ini?” jawab sang peminjam.
Kemudian sahabatnya itu mengabarkan. “Sesungguhnya Allah telah mengantarkan uang pinjamanmu yang kau taruh di dalam lubang  sebatang kayu. Karena itu bawalah uang seribu dinar kembali dengan beruntung!”




Rasulullah Yang Jujur Dalam Menepati Janji

Kalimat yang terucap dari Rasulullah Saw adalah jaminan yang tidak ada jaminan setelahnya. Itulah sifat shidiq (jujur dan benar) yang dimiliki para nabi, tidak pernah berubah sama sekali.
Suhail bin Amru datang sebagai delegasi Qurays menemui Rasulullah Saw dan para sahabatnya di Hudaibiyah pada Dzulqa’dah tahun keenam hijriyah. Kedatangan Suhail inilah yang menyebabkan Rasul Saw dan para sahabatnya batal memasuki kota Makkah ketika itu.
Dalam salah satu butir Perjanjian Hudaibiyah disebutkan, Muhammad harus mengembalikan kepada Qurays orang yang pergi ke tempat kaum Muslimin tanpa seizin walinya dan mereka tidak dituntut mengembalikan pengikut beliau yang pergi ke Qurays.
Syarat ini mengagetkan para Sahabat Nabi Saw, termasuk Umar bin Khaththab ra. Sehingga ia pergi menemui Abu Bakar dan Rasulullah Saw seraya mengingatkan, ‘Bukankah kita Muslimin! Bukankah mereka musyrikin! Bukankah engkau Rasulullah! Untuk apa kita berikan kerendahan pada agama kita?’ Maka Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakan Aku.’ Abu Bakar berkata, ‘Aku bersaksi sesungguhnya dia utusan Allah.’
Penerimaan kaum Musimin pada syarat ini adalah menyerahnya mereka pada perkara yang belum diketahui rahasianya. Dan hal itu menjadi ujian terbesar bagi kesabaran mereka.
Belum lagi ketika mereka dalam keadaan bersitegang dan Rasulullah Saw selesai bernegoisasi dengan delegasi Qurays, yakni Suhail bin Amru, tetapi perjanjian belum ditulis dan belum selesai, tiba-tiba datanglah kepada mereka Abu Jandal. Ia datang sembari berteriak, berjalan tertatih-tatih dengan kaki terbelenggu.
Abu Jandal adalah putra Suhail bin Amru. Begitu melihat anaknya, Suhail beranjak ke arahnya dan mengambil rantai belenggunya seraya berkata, “Wahai Muhammad, persoalan antara aku dan engkau telah mengerucut, artinya negoisasi telah selesai sebelum datangnya anak ini,!” Nabi menjawab, “Engkau benar.” Maka Abu Jandal pun berteriak memanggil-manggil kaum Muslimin, ‘Apakah aku akan dikembalikan kepada Musyrikin yang merusak agamaku?’
Kita bisa bayangkan sikap itu, keberanian Nabi Muhammad Saw yang tiada bandingannya. Beliau orang kuat yang saat itu keluar dari Madinah dengan 1400 orang sahabatnya. Lalu sekarang beliau melihat sahabatnya datang dalam kondisi tersiksa, terbelenggu dan tertatih-tatih padahal di kalangan Qurays ia termasuk orang terpandang. Abu Jandal dibelenggu karena ikut Muhammad Saw dan ikut agamanya.
Namun demikian, Rasulullah Saw tidak goyah dan tidak ragu sedikitpun dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Beliau menegaskan kepada Suhail, ”Kau benar, persoalan telah selesai.’ Dan beliau pun kemudian mengembalikan sahabatnya itu dalam keadaan menangis kepada musuhnya. Inilah keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad Saw dalam menjaga dan menepati perkataan yang telah ia katakan meskipun belum ditulis dan belum selesai.
Pada peristiwa yang sama dalam butir perjanjian lainnya juga disebutkan, siapa saja bisa masuk dalam akad dan janji (bersekutu) dengan Muhammad dan siapa saja bisa masuk dalam akad dan janji dengan Qurays. Kemudian masuklah Bani Khuza’ah dan sekutunya pada akan dan janji Muhammad Saw serta menjadi sekutu beliau, sementara Bani Bakar bersekutu dengan Qurays.
Ketika pada akhirnya Qurays membantu sekutunya, Bani Bakar, menyerang Khuza’ah, maka datanglah Amru bin Salim al-Khuza’i menagih janji Rasulullah Saw dan meminta beliau menolong kaumnya. Amru bersumpah di hadapan Rasulullah Saw yang saat itu berada di Masjid, ia meratap dan mengatakan,
‘Wahai Tuhan, aku meratap pada Muhammad
Sekutu ayah kami dan ayahnya yang sangat erat.
Tolonglah (Muhammad),
Allah menunjukkanmu kemenangan pasti.
Ajaklah hamba-hamba Allah, mereka pasti datang memberi bantuan.
Dalam gelombang pasukan seperti samudera,
Yang berjalan berbuih-buih.
Sesungguhnya Qurays mengingkari kanji padamu
Dan merusak perjanjianmu yang telah dikuatkan.
Permintaan itu pun dipenuhi, Rasulullah pun menyiapkan 10 ribu pasukannya. Maka, serangan Qurays terhadap Bani Khuza’ah inilah yang pada akhirnya menjadi jalan bagi umat Islam untuk menaklukkan Kota Makkah. Inilah contoh dari kejujuran dan kesetiaan Rasulullah dalam menepati janji dan perjanjian. Tidak pernah terjadi sekalipun ketika Rasulullah Saw berjanji atau membuat perjanjian lalu beliau ingkar atau berkhianat.
Imam Bukhari meriwayatkan, ketika Heraklius bertanya kepada Abu Sofyan tentang Rasulullah Saw, “Apakah ia berkhianat?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Setelah itu Heraklius mengatakan, “Aku tanyakan kepadamu apakah ia berkhianat, maka kalian anggap bahwa ia tidak berkhianat, memang seperti itulah seorang rasul, ia tidak berkhianat.”
________________

jujur, kejujuran rasulullah, menepati janji, rasulullah menepati janji, janji rasulullah,




No comments:

Post a Comment