Be Smart On the Internet

Friday, January 11, 2019

MAKALAH MERAIH BERKAH DENGAN MAWARIS


A.    PENGERTIAN MAWARIS ATAU KEWARISAN

Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam

juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan. Nabi Muhammad saw.. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur,yaitu:1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris. Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hokum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fμrud almuqaddarah).

Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”

Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.


B.     Dasar-Dasar Hukum Waris

Sumber  hukum  ilmu  mawaris  yang  paling  utama  adalah  al-Qur'an,  kemudian  As-

Sunnah/hadis dan setelah itu ijma‟ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.

1.      Al-Qur'an

Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:



Artinya:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”


Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma‟ dan ijtihad.

2.      As-Sunnah

a. Hadis dari Abdullah bin „Amr, bahwa Nabi saw. bersabda


Artinya:

“Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abu Daμd dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.


3.      Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam.




C.    Ketentuan Mawaris dalam Islam

1.      Ahli Waris

Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan)





2.      Syarat-syarat Mendapatkan Warisan

Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.

b.      Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.

c.       Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.


3.      Sebab-sebab Menerima Harta Warisan

Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:

a.                               Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka.
b.                               Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj‟i selama dalam masa idah dan ba‟in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.

c.                               Wala, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.

4.      Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.

a.      Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan

orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

b.   Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)

c.       Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”

d.                              Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya,
e.       Li‟an. Anak suami isteri yang melakukan li‟an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.

5.      Ketentuan Pembagian Harta Harisan

Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud ).

Ahli waris Zawil Furud

Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.

1)      Mendapat bagian ½

a)      Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.

b)      Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.

c)      Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki

d)     Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.

e)      Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

2)      Mendapat ¼

a)      Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

b)      Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

3)      Mendapat 1/8

Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4)      Mendapat 2/3

a)      Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.

b)      Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.

c)      Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.

d)     Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.

5)      Mendapat 1/3

a)      Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.

b)      Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

c)      Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.

6)      Mendapat 1/6

a)      Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.

b)      Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.

c)      Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.

d)     Kakek, jika tidak ada bapak.

e)      Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.

f)       Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.

g)      Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki

D.    Menerapkan Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan

Di  bawah  ini  diberikan  contoh-contoh  kasus  (masalah)  dan  pembagian  warisan

berdasarkan syariat Islam.

1.      Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Maka hasilnya adalah:

Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24. Maka pembagiannya adalah:

Istri
: 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000
= Rp. 30.000.000,-
Ibu
: 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000
= Rp. 22.500.000,-
Dua anak laki-laki
: 24 – (4+3 ) x Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,-

Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-

2.      Penghitungan dengan menggunakan „aul. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.

Maka hasilnya adalah:

Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2 dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan „aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya.

(aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi: Suami : 3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan sekandung : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-

3.      Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.

Maka hasilnya adalah:

Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:

Ibu : 1/4 x Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,-

Satu anak perempuan : 3/4 x Rp. 120.000.000,- = 90.000.000,-

E.     Manfaat Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut

ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:

1.      Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.

2.      Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.




II.                KESIMPULAN

1.      Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orangtua harus bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya.

2.      Dasar hukum waris yang paling utama adalah Q.S.an-Nisa'/4:7-12 dan 176, Q.S.an-Nahl/16:75 dan Q.S.al-Ahzab/33:4 serta beberapa hadis Nabi saw.

3.      Posisi hukum kewarian Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Inpres No.1 tahun 1991.

4.      Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling lengkap diuraikan secara rinci dalam al-Qur'±n terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (furudul muqaddarah). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya perlu mendapat perhatian yang serius dari kaum muslimin.

5.      Orang yang memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal dunia karena empat sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab hukmi, sebab pernikahan dan sebab hubungan agama.

6.      Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian waris.

No comments:

Post a Comment