A. PENGERTIAN
MAWARIS ATAU KEWARISAN
Ajaran Islam tidak hanya mengatur
masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam
juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah
kewarisan. Nabi Muhammad saw.. membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum
waris jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut
Islam tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki
atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Mawaris merupakan
serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari
seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan
demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur,yaitu:1) orang mati,
yang disebut pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau
orang yang mati meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup
sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris. Ilmu mawaris
adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang
sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang
sudah terinci sedemikian rupa tentang hokum mawaris, terutama mengenai
ketentuan pembagian harta warisan (al-fμrud almuqaddarah).
Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan
bentuk masdar (infinitif) dari kata wari¡a-yari¡u-irsan- mīrā¡an
yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari
suatu kaum kepada kaum lain.
Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang
nonharta benda. Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya
terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi
Daud.”
Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya
ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Adapun menurut istilah, warisan
adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan
kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta
akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu
mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup
masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan
cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga
masalah tersebut.
B. Dasar-Dasar
Hukum Waris
Sumber hukum
ilmu mawaris yang
paling utama adalah
al-Qur'an, kemudian As-
Sunnah/hadis
dan setelah itu ijma‟ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para
mujtahid.
1. Al-Qur'an
Dalam Islam
saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur'an
dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang
ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S.
an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai
surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176,
Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan
permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian
sebagai hasil ijma‟ dan ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Hadis dari Abdullah bin „Amr,
bahwa Nabi saw. bersabda
Artinya:
“Ilmu itu
ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat
muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (H.R. Abu Daμd
dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu
faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa
jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan
segala kesungguhan.
3. Posisi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum
kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan
dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan
perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi
perdebatan hangat adalah keberadaan
pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih
Islam.
C. Ketentuan
Mawaris dalam Islam
1. Ahli Waris
Jumlah
ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal
dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa
disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil
oleh zawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang
biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah
ditentukan)
2. Syarat-syarat
Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan
warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tidak adanya
salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b.
Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut
berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang
itu dianggap telah meninggal dunia.
c.
Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan
meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah
seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan
dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada
saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-sebab
Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan
disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:
a.
Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri
dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur
kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari
jalur bapak beserta anak-anak mereka.
b.
Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan
berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum
berduaan dengannya.
Suami istri
dapat saling mewarisi dalam talak raj‟i selama dalam masa idah
dan ba‟in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal
dunia karena sakitnya tersebut.
c.
Wala‟, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak
wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak
meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.
4. Sebab-sebab
Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Sebab-sebab yang menghalangi ahli
waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan
orang
yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana
sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan
orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan
sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya,
berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari
harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)
c.
Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun
diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang
majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan
tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak
yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada
pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian,
sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang
dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia
(seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan
diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d.
Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan
tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan
diwarisi ibunya,
e.
Li‟an. Anak suami isteri yang melakukan li‟an tidak dapat
mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal
ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
5. Ketentuan
Pembagian Harta Harisan
Pembagian
harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir
dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan
dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus
terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang
menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat
dan utang si mayit Ahli waris dalam pembagian harta warisan
terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya
telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah
diambil oleh zawil furud ).
Ahli waris Zawil Furud
Ahli waris
yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt.
dalam Q.S. an-Nisa'/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok,
penjelasan sebagaimana di bawah ini.
1) Mendapat
bagian ½
a) Suami, jika
istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki
dari anak laki-laki.
b) Anak
perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c) Cucu
perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
d) Saudara
perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada
bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e) Saudara
perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak atau
cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2) Mendapat ¼
a) Suami, jika
istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki.
b) Istri, jika
suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki.
3) Mendapat 1/8
Yang berhak
mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Jika suami memiliki istri lebih
dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
a) Dua anak
perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua cucu
perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau
perempuan sekandung.
c) Dua saudara
perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau
tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara
perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau
tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a)
Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak
laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki
dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b)
Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan,
jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki
atau perempuan dari anak laki-laki.
c)
Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki,
atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki
dan dua orang saudara kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
a)
Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau
cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung
atau sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika
yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya
lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara
mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika
tidak ada bapak.
e)
Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang
meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan
atau laki-laki dari anak laki-laki.
f) Cucu
perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal;
tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g)
Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan
sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada
kakek, tidak ada anak laki-laki
D. Menerapkan
Syari’ah Islam dalam Pembagian Warisan
Di
bawah ini diberikan
contoh-contoh kasus (masalah)
dan pembagian warisan
berdasarkan
syariat Islam.
1. Seorang
meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp.180.000.000 Ahli warisnya
terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua
anak laki-laki, ashabah. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/8 (KPK=Kelipatan
Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24. Maka
pembagiannya adalah:
Istri
|
: 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000
|
= Rp. 30.000.000,-
|
Ibu
|
: 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000
|
= Rp. 22.500.000,-
|
Dua anak laki-laki
|
: 24 – (4+3 ) x
Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,-
|
Masing-masing anak laki-laki : Rp.
127.500.000,- : 2 = Rp.63.750.000,-
2.
Penghitungan dengan menggunakan „aul. Seorang
meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya
terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Maka hasilnya adalah:
Bagian suami
1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Asal masalahnya dari 1/2
dan 2/3 (KPK= Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3)
adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan
dalam kasus ini harus menggunakan „aul yaitu dengan menyamakan penyebut
dengan pembilangnya.
(aulnya:1), sehingga masing-masing
bagian menjadi: Suami : 3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan sekandung :
4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-
3. Penghitungan
dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta
sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.
Maka hasilnya adalah:
Bagian ibu
1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2. Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2
(KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. Maka bagian masing-masing adalah
1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta waris sebanyak 2/6. Untuk
penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan kembali
harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan
satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6,
dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:
Ibu : 1/4 x Rp. 120.000.000,- =
30.000.000,-
Satu anak perempuan : 3/4 x Rp.
120.000.000,- = 90.000.000,-
E. Manfaat
Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam ini memberi jalan
keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut
ini,
beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:
1.
Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang
harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang
paling durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri
diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling
sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi
hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2.
Manciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian.
Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam
keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam
praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.
II.
KESIMPULAN
1.
Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi
juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga
masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orangtua harus
bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya.
2. Dasar hukum
waris yang paling utama adalah Q.S.an-Nisa'/4:7-12 dan 176, Q.S.an-Nahl/16:75
dan Q.S.al-Ahzab/33:4 serta beberapa hadis Nabi saw.
3. Posisi hukum
kewarian Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Inpres No.1 tahun 1991.
4.
Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling
lengkap diuraikan secara rinci dalam al-Qur'±n terutama mengenai
ketentuan pembagian harta warisan (furudul muqaddarah). Hal ini
menunjukkan bahwa persoalan ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya perlu mendapat
perhatian yang serius dari kaum muslimin.
5.
Orang yang memperoleh harta warisan dari orang yang
meninggal dunia karena empat sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab
hukmi, sebab pernikahan dan sebab hubungan agama.
No comments:
Post a Comment